Sembilan bulan setelah penanaman, murbei mulai mampu menyediakan daun guna menyuplai kebutuhan pakan ulat. Dengan tersedianya daun sebagai sumber makan, maka kegiatan pemeliharaan ulat sutera dapat segera dimulai. Awal dari kegiatan ini berupa penyediaan bibit.
Selain membeli, seenarnya bibit dapat diproduksi sendiri, namun, untuk melakukannya pengetahuan tentang ulat sutera harus benar-benar dikuasai.
Di Indonesia, bibit yang dianggap unggul merupakan hasil perkawinan ngengat sutera ras cina dan ras jepang. Kedua ras tersebut merupakan jenis bivoltine yang hanya menghasilkan dua generasi dalam satu tahunnya. Apabila kedua ras tersebut dikawinkan, maka telur yang dihasilkan harus mendapat perlakuan khusus agar dapat menetas. Perlakuan khusus ini sebagai usaha mempercepat penetasan telur. Selain itu, dapat dilakukan penetasan buatan dengan menggunakan asam chlorida (HCl).
Usaha pembibitan sendiri mempunyai risiko yang cukup tinggi jika tidak dibekali dengan pengetahuan yang cukup dan tidak ditunjang dengan peralatan yang memadai. Meskipun telur bisa dihasilkan, tetapi kemungkinan telur-telur tersebut terserang penyakit, pebrine misalnya, tetap tinggi. Jika telur-telur tersebut mengandung penyakit, maka akan berakibat hancurnya usaha pemeliharaan ulat sutera. Bahkan tidak mustahil meluas menghancurkan usaha-usaha sejenis di tempat-tempat yang berdekatan. Aagar lebih aman, sebaiknya pengadaan bibit ini didatangkan saja dari pusat-pusat pembibitan yang memang sudah berpengalaman menangani bibit.
Bibit ulat sutera dijual dalam bentuk telur yang dikemas dalam suatu boks. Setiap boksnya berisi 20.000 butir telur. Bibit ini dapat diperleh di Pusat Pembibitan Ulat Sutera (PPUS) yang di kelola oleh Perum Perhutani. Untuk wilayah Indonesia bagian timur dan tengah, kebutuhan akan bibit dapat dipenuhi oleh PPUS Soppeng, Sulawesi Selatan. Sedangkan untuk Indonesia bagian barat tersedia di PPUS Candiroto, Temanggung, Jawa Barat.
Dengan tersedianya bibit, kegiatan pemeliharaan selanjutnya meliputi sterilisasi ruangan dan peralatan. Setelah itu berturut-turut akan melalui tahap-tahap penetasan telur, pemeliharaan ulat yang baru menetas, pemeliharaan ulat kecil, pemeliharaan ulat besar, serta pengokonan.
Usaha pembibitan sendiri mempunyai risiko yang cukup tinggi jika tidak dibekali dengan pengetahuan yang cukup dan tidak ditunjang dengan peralatan yang memadai. Meskipun telur bisa dihasilkan, tetapi kemungkinan telur-telur tersebut terserang penyakit, pebrine misalnya, tetap tinggi. Jika telur-telur tersebut mengandung penyakit, maka akan berakibat hancurnya usaha pemeliharaan ulat sutera. Bahkan tidak mustahil meluas menghancurkan usaha-usaha sejenis di tempat-tempat yang berdekatan. Aagar lebih aman, sebaiknya pengadaan bibit ini didatangkan saja dari pusat-pusat pembibitan yang memang sudah berpengalaman menangani bibit.
Bibit ulat sutera dijual dalam bentuk telur yang dikemas dalam suatu boks. Setiap boksnya berisi 20.000 butir telur. Bibit ini dapat diperleh di Pusat Pembibitan Ulat Sutera (PPUS) yang di kelola oleh Perum Perhutani. Untuk wilayah Indonesia bagian timur dan tengah, kebutuhan akan bibit dapat dipenuhi oleh PPUS Soppeng, Sulawesi Selatan. Sedangkan untuk Indonesia bagian barat tersedia di PPUS Candiroto, Temanggung, Jawa Barat.
Dengan tersedianya bibit, kegiatan pemeliharaan selanjutnya meliputi sterilisasi ruangan dan peralatan. Setelah itu berturut-turut akan melalui tahap-tahap penetasan telur, pemeliharaan ulat yang baru menetas, pemeliharaan ulat kecil, pemeliharaan ulat besar, serta pengokonan.
0 komentar:
Posting Komentar