Tidak saya lupakan. Pada suatu siang pulang sekolah,
dengan membawa sekeranjang daun murbei, saya mendapatkan puluhan ulat
sutera yang dipelihara dengan penuh kasih dan harapan, mati
bergelimpangan, di kerumuni beribu-ribu semut. Ya ampun! malapetaka
apakah yang lebih menyedihkan seorang murid kelas 5 Sekolah dasar,
selain kematian hewan-hewan piaraan yang begitu di sayang?
Lagipula, ulat sutera murbei Bombyx mori itu
sudha memberikan harapan akan menghasilkan kokon warna-warni. Bukan
hanya kuning (seperti umumnya); tapi juga biru, hijau muda, putih,
orange dan ungu. Sekarang Sebagian besar mati, mengenaskan, di mangsa
ribuan semut. Itulah hama nomor satu bagi petani ulat sutera, selain
tikus, burung, dan cecak.
Belum ada petunjuk bahwa untuk memelihara ulat sutera
perlu rumah yang bersih, disemprot formalin dan desinfektan.
Kelembabannya pun harus di jaga dengan karung-karung basah, dan
seterusnya. Balai benih dan pusat-pusat pelayanan pengembangan ulat
sutera belum menjamur seperti sekarang.
Sekarang, pemeliharaan ulat sutera sudah berkembang di mana-mana. Kalau kita baca di situs BDSP (Business Development Service Provider),
di kabupaten Bogor, Ciamis, Tasikmalaya, dan seputarnya saja puluhan
lembaga berurusan dengan ulat sutera. Ada koperasi petani pengrajin Ulat
sutera (Koppus) Sabilulungan. Ada pengerajin sutera Priyangan,
Persuteraan Cibeureum, dan puluhan lagi. Semua berdedikasi tinggi. Ada
yang baru aktif setelah 2000-an, namun ada yang berpengalaman sejak
1970-an.
Bahkan ada yang lebih berpengalaman lagi, seperti
industri sutera alam yang di pelopori oleh Aman Sahuri, di Garut sejak
1961. Sekarang usaha itu berkembang, menampung lebih dari seratus
karyawan dan menghasilkan sekitar 5.000 meter kain sutera dalam sebulan.
Tanpa di dukum petani yang ulet dan berproduksi rutin, mustahil
perusahaan dengan peralatan yang cukup lengkap itu bisa memasok
produknya ke Bandung, Jakarta, bahkan Bali. Jangan lupa, ia hanya salah
satu di antara hampir seratus lembaga yang terkait dengan persuteraan di
Indonesia.
Di daerah-daerah beriklim lembab, termasuk Temanggung
(Jawa Tengah), Soppeng dan Bili-bili (Sulawesi Selatan) terkenal
sebagai penghasil ulat sutera sampai sekarang. Sejarah menunjukkan,
sudha lama ulat sutera tidak hanya penting bagi perekonomian negara
besar (India, China, Jepang) tapi juga petani kecil di pedesaan.
Berapa nilai ekonomi satu kilogram sutera mentah?
harga normal berkisar antara Rp. 25.000 sampai Rp.30.000. Nanun kalau
anjlok bisa tinggal Rp. 17.500. Itu terjadi akibat serangan virus pebrine,
yang membuat peternakan ulat sutera di bandung terpuruk awal 2005.
Akibatnya? industri sutera di Jawa Barat jadi semakin tergantung pada
baha mentah dari China. Harga benang sutera olahan impor bisa Rp.
310.000,- per kg, sednagkan benang sutera olahan kepompong lokal hanya
Rp. 240.000,-.
Meskipun begitu, cukup menggiurkan petani. Hitung
saja, dengan modal 1 box berisi 25.000 telor benih berharga Rp. 60.000,-
dalam waktu 25-32 hari petni dapat memanen hingga 20 kg kopompong
sutera mentah. Tidak perlu lahan luas, cukup 20-50 meter persegi. Pakan
yang diperlukan sekitar 700 kg daun murbei segar. Bila pemeliharaannya
baik, menurut Rudi Wahyudin, pakar agrotek dari Institut Pertanian Bogor
(IPB), panen bisa di tingkatkan hingga 40 kg. Tergantung pada bibit,
pakan, cuaca, dan konstruksi rumahnya.
Nah, rumah untuk inilah yag perlu modal. Satu rumah ulat idealnya perlu biaya Rp. 20 juta.
Padahal peternakan ulat sutera sesungguhnya
multiguna. Ia bisa berfungsi ekologis- melestarikan alam dan industri
ramah lingkungan. Bisa juga bernilai ekonomis dan sekaligus
susio-kultural. Kain sutera membuka kegiatan sosial bernilai budaya
tinggi dan berdampak langsung pada kesehatan. Serat sutera bersifat
higroskopis, menghalangi terpaan sinar ultraviolet, menjaga kekenyalan
kulit, dapat di manfaatkan sebagai bahan kosmetik maupun industri
pengobatan.
TEH MURBEI DAN EKOLOGI
Penulis diktat Budidaya Ulat Sutera, Mien Kaomini,
mengingatkan, perkebunan murbei juga memberikan produk sampingan yang
bernilai ekonomi maupun ekologi. Pertama murbei mengandung banyak
bioaktif sehingga dapat digunakan sebagai obat alternatif berupa teh
daun murbei. Kedua: buahnya dapat dikonsumsi. Sedangkan ketiga:
batangnya dapat digunakan untuk media bertanam jamur. Menurut aktifis
Kelompok Peneliti Persuteraan dari Bogor itu, limbah peternakan sutera
dapat di proses menjadi hasil ikutan antara lain klorofil dari kotoran
ulat, serbuk larva, protein pupa, serbuk sutera.
Jadi produk utama adalah daun, buah dan kayu murbei.
Di Nepal, pemerintah mendistribusikan bibit murbei sebagi langkah
pertama untuk mengembangkan industri sutera. Dalam tahun 2004; misalnya,
tak kurang dari satu juta bibit murbei dibagikan di seluruh negeri,
guna mengejar target produksi 6.000 kg kokon atau kepompong. Para petani
di lereng Himalaya itu percaya bahwa budidaya ulat sutera sangat cocok
di lahan-lahan terjal. Jangan heran kalau 180 petani dengan 9 perkebunan
murbei dapat menghasilkan 600 kg sutera mentah dalam setahun.
Thailand juga menggunakan perkebunan dan penenunan
sutera rakyat sebagai atraksi pariwisata. Pada akhir november hingga
awal desember biasa diadakan festival sutera di desa-desa yang
menghasilkan kepompong. Begitu juga di Vietnam. Peternakan ulat sutera
relatif tidak memerlukan tempat luas. Kandang ulat yang memerlukan
lembar-lembar bambu dapat disusun. Wisatawan bisa menikmati mulai dari
pemeliharaans ampai proses produksi, pemintalan benang dan penenunan
kainnya.
Masalahnya di Indonesia, lahan murbei belum cukup
tersedia, bibit ulat sutera sudah melimpah. Akibatnya ulat menetas dan
kurang pakan. Satiap satu boks telur ulat, paling sedikit perlu 50 meter
persegi kebun murbei. Dan itu harus ditanam dulu. Kalau ulat kurnag
pakan, lama sekali baru mau bikin kepompong. Yang biasanya 25 hari sudah
memintal benang kepompong, bisa jadi 40 hari. Hasilnya pun tipis dan
tidak optimal. Jadi, kebun murbei perlu di kembangkan, sekaligus sebagai
sarana penghijauan ditebing-tebing sungai. Itulah yang membuat industri
ulat sutera di Temanggung berjalan kencang.
Pohon murbei yang bernama latin Morus alba L dan Mandarin, Sang ye,
tidak hanya disukai ulat sutera, tapi juga bermanfaat bagi manusia.
Daun mudanya enak di sayur, berkhasiat menurunkan tekanan darah tinggi,
memperbanyak susu ibu, membuat pengelihatan lebih terang, dan meluruhkan
kentut. Buahnya, dalam bahasa mandarin disebut sang shen, bermanfaat
untuk memperkuat ginjal dan meningkatkan sirkulasi darah. Paling
praktis, buah murbei adalah pencahar, untuk menghilangkan sembelit dan
mengatasi gangguan pencernaan. Di Tiongkok, orang percaya buah murbei
dapat mempertajam pendengaran.
Kulit pohon murbei juga biasa di jadikan obat. Nama China-nya sang pei pi,
dapat mengobati penyakit asma, sesak nafas, muka bengkak dan batuk.
Begitu menurut Sinshe Chang, yang membuka toko obat tradisional di
Pekalongan, purwokerto, Tegal, dan beberapa kota lain di Jawa Tengah. Ia
juga memberikan resep, daun murbei dapat di pakai sebagai obat kalau
digigit serangga, atau di tumbuk halus, dipopokkan pada luka. Akarnya
bisa direbus sebagai penawar demam.
Di Jawa Tengah, pohon murbei, banyak ditanam di
Temanggung dan Jepara. Tingginya, maksimal bisa mencapai 9 meter. Bagi
banyak orang tanaman dari Tiongkok ini bisa tampak sebagai perdu,
semak-semak atau sekedar pagar. Namun, di Ithaca, New York, Amerika
Serikat, saya pernah melihat dan memanjat pohon murbei yang sudah
berumur 150-an tahun. Mulberry itu tidak terlalu tinggi, tapi pokoknya
hampir sebesar pelukan orang dewasa. Buahnya banyak sekali. Pemiliknya
seorang Indonesianis terkemuka, Benedict Anderson!
Pohon itu memberi inspirasi bahwa kalau di pelihara
dengan baik dan tidak di tebang, murbei pun bisa besar dan indah. Namun
demikian, dalam pengembangan pohon murbei harus di perhatikan faktor
ekologinya.
Potensi industri ulat sutera sebenarnya besar.
Apalagi jika menyangkut budidaya selendang sutera, batik sutera, benang
sutera dan lain-lain, yang pengerajinnya meluas di berbagai pedesaan.
Murbei mungkin tidak pernah menjadi primadona seperti
pohon buah merah yang berkibar sebagai berita. Namun, potensinya
sebagai bahan farmasi, tidka boleh diabaikan. Demikian juga buahnya,
terutama produk sampingannya: ulatsutera. Kalau saja produksi kain
sutera mencukupi, harga kain batik dan baju bodo pun tidak perlu
melambung tinggi dan sukar di dapat.
sumber: Majalah Trubus.
0 komentar:
Posting Komentar