Kamis, 04 Oktober 2012

Budidaya Ulat Sutera, Murbei & Peluang ekonominya.

Tidak saya lupakan. Pada suatu siang pulang sekolah, dengan membawa sekeranjang daun murbei, saya mendapatkan puluhan ulat sutera yang dipelihara dengan penuh kasih dan harapan, mati bergelimpangan, di kerumuni beribu-ribu semut. Ya ampun! malapetaka apakah yang lebih menyedihkan seorang murid kelas 5 Sekolah dasar, selain kematian hewan-hewan piaraan yang begitu di sayang?

Lagipula, ulat sutera murbei Bombyx mori itu sudha memberikan harapan akan menghasilkan kokon warna-warni. Bukan hanya kuning (seperti umumnya); tapi juga biru, hijau muda, putih, orange dan ungu. Sekarang Sebagian besar mati, mengenaskan, di mangsa ribuan semut. Itulah hama nomor satu bagi petani ulat sutera, selain tikus, burung, dan cecak.

Belum ada petunjuk bahwa untuk memelihara ulat sutera perlu rumah yang bersih, disemprot formalin dan desinfektan. Kelembabannya pun harus di jaga dengan karung-karung basah, dan seterusnya. Balai benih dan pusat-pusat pelayanan pengembangan ulat sutera belum menjamur seperti sekarang.

Sekarang, pemeliharaan ulat sutera sudah berkembang di mana-mana. Kalau kita baca di situs BDSP (Business Development Service Provider), di kabupaten Bogor, Ciamis, Tasikmalaya, dan seputarnya saja puluhan lembaga berurusan dengan ulat sutera. Ada koperasi petani pengrajin Ulat sutera (Koppus) Sabilulungan. Ada pengerajin sutera Priyangan, Persuteraan Cibeureum, dan puluhan lagi. Semua berdedikasi tinggi. Ada yang baru aktif setelah 2000-an, namun ada yang berpengalaman sejak 1970-an.

Bahkan ada yang lebih berpengalaman lagi, seperti industri sutera alam yang di pelopori oleh Aman Sahuri, di Garut sejak 1961. Sekarang usaha itu berkembang, menampung lebih dari seratus karyawan dan menghasilkan sekitar 5.000 meter kain sutera dalam sebulan. Tanpa di dukum petani yang ulet dan berproduksi rutin, mustahil perusahaan dengan peralatan yang cukup lengkap itu bisa memasok produknya ke Bandung, Jakarta, bahkan Bali. Jangan lupa, ia hanya salah satu di antara hampir seratus lembaga yang terkait dengan persuteraan di Indonesia.

Di daerah-daerah beriklim lembab, termasuk Temanggung (Jawa Tengah), Soppeng dan Bili-bili (Sulawesi Selatan) terkenal sebagai penghasil ulat sutera sampai sekarang. Sejarah menunjukkan, sudha lama ulat sutera tidak hanya penting bagi perekonomian negara besar (India, China, Jepang) tapi juga petani kecil di pedesaan.

Berapa nilai ekonomi satu kilogram sutera mentah? harga normal berkisar antara Rp. 25.000 sampai Rp.30.000. Nanun kalau anjlok bisa tinggal Rp. 17.500. Itu terjadi akibat serangan virus pebrine, yang membuat peternakan ulat sutera di bandung terpuruk awal 2005. Akibatnya? industri sutera di Jawa Barat jadi semakin tergantung pada baha mentah dari China. Harga benang sutera olahan impor bisa Rp. 310.000,- per kg, sednagkan benang sutera olahan kepompong lokal hanya Rp. 240.000,-.

Meskipun begitu, cukup menggiurkan petani. Hitung saja, dengan modal 1 box berisi 25.000 telor benih berharga Rp. 60.000,- dalam waktu 25-32 hari petni dapat memanen hingga 20 kg kopompong sutera mentah. Tidak perlu lahan luas, cukup 20-50 meter persegi. Pakan yang diperlukan sekitar 700 kg daun murbei segar. Bila pemeliharaannya baik, menurut Rudi Wahyudin, pakar agrotek dari Institut Pertanian Bogor (IPB), panen bisa di tingkatkan hingga 40 kg. Tergantung pada bibit, pakan, cuaca, dan konstruksi rumahnya.

Nah, rumah untuk inilah yag perlu modal. Satu rumah ulat idealnya perlu biaya Rp. 20 juta.
Padahal peternakan ulat sutera sesungguhnya multiguna. Ia bisa berfungsi ekologis- melestarikan alam dan industri ramah lingkungan. Bisa juga bernilai ekonomis dan sekaligus susio-kultural. Kain sutera membuka kegiatan sosial bernilai budaya tinggi dan berdampak langsung pada kesehatan. Serat sutera bersifat higroskopis, menghalangi terpaan sinar ultraviolet, menjaga kekenyalan kulit, dapat di manfaatkan sebagai bahan kosmetik maupun industri pengobatan.

TEH MURBEI DAN EKOLOGI

Penulis diktat Budidaya Ulat Sutera, Mien Kaomini, mengingatkan, perkebunan murbei juga memberikan produk sampingan yang bernilai ekonomi maupun ekologi. Pertama murbei mengandung banyak bioaktif sehingga dapat digunakan sebagai obat alternatif berupa teh daun murbei. Kedua: buahnya dapat dikonsumsi. Sedangkan ketiga: batangnya dapat digunakan untuk media bertanam jamur. Menurut aktifis Kelompok Peneliti Persuteraan dari Bogor itu, limbah peternakan sutera dapat di proses menjadi hasil ikutan antara lain klorofil dari kotoran ulat, serbuk larva, protein pupa, serbuk sutera.

Jadi produk utama adalah daun, buah dan kayu murbei. Di Nepal, pemerintah mendistribusikan bibit murbei sebagi langkah pertama untuk mengembangkan industri sutera. Dalam tahun 2004; misalnya, tak kurang dari satu juta bibit murbei dibagikan di seluruh negeri, guna mengejar target produksi 6.000 kg kokon atau kepompong. Para petani di lereng Himalaya itu percaya bahwa budidaya ulat sutera sangat cocok di lahan-lahan terjal. Jangan heran kalau 180 petani dengan 9 perkebunan murbei dapat menghasilkan 600 kg sutera mentah dalam setahun.

Thailand juga menggunakan perkebunan dan penenunan sutera rakyat sebagai atraksi pariwisata. Pada akhir november hingga awal desember biasa diadakan festival sutera di desa-desa yang menghasilkan kepompong. Begitu juga di Vietnam. Peternakan ulat sutera relatif tidak memerlukan tempat luas. Kandang ulat yang memerlukan lembar-lembar bambu dapat disusun. Wisatawan bisa menikmati mulai dari pemeliharaans ampai proses produksi, pemintalan benang dan penenunan kainnya.

Masalahnya di Indonesia, lahan murbei belum cukup tersedia, bibit ulat sutera sudah melimpah. Akibatnya ulat menetas dan kurang pakan. Satiap satu boks telur ulat, paling sedikit perlu 50 meter persegi kebun murbei. Dan itu harus ditanam dulu. Kalau ulat kurnag pakan, lama sekali baru mau bikin kepompong. Yang biasanya 25 hari sudah memintal benang kepompong, bisa jadi 40 hari. Hasilnya pun tipis dan tidak optimal. Jadi, kebun murbei perlu di kembangkan, sekaligus sebagai sarana penghijauan ditebing-tebing sungai. Itulah yang membuat industri ulat sutera di Temanggung berjalan kencang.

Pohon murbei yang bernama latin Morus alba L dan Mandarin, Sang ye, tidak hanya disukai ulat sutera, tapi juga bermanfaat bagi manusia. Daun mudanya enak di sayur, berkhasiat menurunkan tekanan darah tinggi, memperbanyak susu ibu, membuat pengelihatan lebih terang, dan meluruhkan kentut. Buahnya, dalam bahasa mandarin disebut sang shen, bermanfaat untuk memperkuat ginjal dan meningkatkan sirkulasi darah. Paling praktis, buah murbei adalah pencahar, untuk menghilangkan sembelit dan mengatasi gangguan pencernaan. Di Tiongkok, orang percaya buah murbei dapat mempertajam pendengaran.

Kulit pohon murbei juga biasa di jadikan obat. Nama China-nya sang pei pi, dapat mengobati penyakit asma, sesak nafas, muka bengkak dan batuk. Begitu menurut Sinshe Chang, yang membuka toko obat tradisional di Pekalongan, purwokerto, Tegal, dan beberapa kota lain di Jawa Tengah. Ia juga memberikan resep, daun murbei dapat di pakai sebagai obat kalau digigit serangga, atau di tumbuk halus, dipopokkan pada luka. Akarnya bisa direbus sebagai penawar demam.

Di Jawa Tengah, pohon murbei, banyak ditanam di Temanggung dan Jepara. Tingginya, maksimal bisa mencapai 9 meter. Bagi banyak orang tanaman dari Tiongkok ini bisa tampak sebagai perdu, semak-semak atau sekedar pagar. Namun, di Ithaca, New York, Amerika Serikat, saya pernah melihat dan memanjat pohon murbei yang sudah berumur 150-an tahun. Mulberry itu tidak terlalu tinggi, tapi pokoknya hampir sebesar pelukan orang dewasa. Buahnya banyak sekali. Pemiliknya seorang Indonesianis terkemuka, Benedict Anderson!

Pohon itu memberi inspirasi bahwa kalau di pelihara dengan baik dan tidak di tebang, murbei pun bisa besar dan indah. Namun demikian, dalam pengembangan pohon murbei harus di perhatikan faktor ekologinya.
Potensi industri ulat sutera sebenarnya besar. Apalagi jika menyangkut budidaya selendang sutera, batik sutera, benang sutera dan lain-lain, yang pengerajinnya meluas di berbagai pedesaan.

Murbei mungkin tidak pernah menjadi primadona seperti pohon buah merah yang berkibar sebagai berita. Namun, potensinya sebagai bahan farmasi, tidka boleh diabaikan. Demikian juga buahnya, terutama produk sampingannya: ulatsutera. Kalau saja produksi kain sutera mencukupi, harga kain batik dan baju bodo pun tidak perlu melambung tinggi dan sukar di dapat.



sumber: Majalah Trubus.

0 komentar:

Posting Komentar