Desa Sumur, Kecamatan Brangsong, Kabupaten Kendal mungkin mempunyai
lahan yang sulit ditanami tanaman produktif bernilai ekonomi tinggi,
seperti padi atau palawija. Namun, warga desa menemukan alternatif
tanaman yang dapat tumbuh dengan baik, yakni pohon murbei (Morus alba
L), dan lebih lanjut, mengembangkan budidaya ulat sutera.
“Kondisi lahan di desa kami tidak terjangkau saluran irigasi, jadi
sulit untuk menanam tanaman produktif. Ini adalah salah satu alasan
perekonomian warga desa kami sulit berkembang. Belakangan kami menemukan
bahwa pohon murbei bisa menjadi alternatif tanaman yang dapat
dikembangkan dengan kondisi lahan seperti ini,” ujar Ngadri (50 tahun)
warga Desa Sumur.
Menurut Ngadri, ulat sutera memang tidak dapat dipisahkan dari pohon
murbei. Pria yang sudah menekuni budidaya ulat sutera selama lima tahun
terakhir ini mengaku, kebutuhan hidup keluarganya tercukupi berkat usaha
memintal benang ulat sutera.
Semua berawal dari rasa frustrasi Ngadri terhadap kondisi lahan yang
kering dan sulit ditanami sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhan hidup
keluarga sehari-hari. Untuk itu, ia memutuskan merantau. Ia berkelana ke
Tasikmalaya, Jawa Barat. Di sini, ia mulai menekuni budidaya ulat
sutera.
Bermodalkan informasi yang didapat dari rekannya di Tasikmalaya
tentang bagaimana memulai usaha budidaya ulat sutera, ia pun mengajukan
proposal sederhana ke Departemen Kehutanan Kendal. Singkat cerita,
gayung bersambut. Proposal yang diajukannya mendapat respon positif dari
departemen kehutanan, dengan memberikan bantuan modal berupa bibit
pohon murbei dan media/kotak pembesaran ulat.
“Yang terpenting, mengawali budidaya ulat sutera adalah menjamin
ketersedian pakan pohon murbei yang cukup. Pohon murbei harus disiapkan
(ditanam) empat bulan sebelum memulai budidaya ulat sutera,” urai
Ngadri.
Menurutnya,
budidaya ulat sutera sangat prospektif, karena pangsa pasarnya masih
terbuka luas. Apalagi, modal awal juga tidak terlalu besar, sehingga
budidaya ulat sutera ini dapat sebagai solusi alternatif bagi
wilayah-wilayah yang memiliki lahan kering atau lahan yang mengandalkan
tadah hujan sebagai pengairannya.
Pohon murbei, sebagai pakan ulat sutera, tidak memerlukan pengairan
yang cukup banyak. Hanya saja, pada awal tanam untuk derah lahan kering,
sebaiknya dimulai pada musim penghujan. Setelah tumbuh baik,
selanjutnya hanya tinggal pemeliharaan, tanpa menguatirkan pengairannya.
Perlu diketahui, modal awal berupa pohon murbei sekitar 7.000 batang
adalah untuk sekali tanam (per kotak benih/telur ulat sutera) dan terus
berlanjut hingga seterusnya. Begitu juga dengan media/kotak
pembesarannya, cukup dibuat sekali, untuk seterusnya. Kemudian, harga
satu kotak benih/telur urat berisi 25.000 butir telur, dapat dibeli
seharga Rp 50.000. Dari satu kotak itu, kepompong yang bisa dihasilkan
adalah seberat 40 – 50 kilogram. Kisaran harga kepompong sendiri adalah
Rp 30.000 – Rp 35.000 per kilogram kepompong. Siklus ulat sutera mulai
dari menetas telur hingga menjadi kepompong adalah 25 hari. Dan,
berapapun jumlah kepompong yang dihasilkan, pasar selalu siap
menerimanya.
Melihat hasil yang cukup memuaskan, dengan tingkat resiko yang sangat
kecil, sudah sepantasnya budidaya ulat sutera ini menjadi alternatif
solusi yang harus didukung semua pihak guna meningkatkan taraf ekonomi
masyarakat, di tengah kondisi makin melambungnya harga-harga kebutuhan
pokok.
Sebagai
langkah awal, melalui pelaksanaan bazaar PJM Pronangkis tingkat
Kabupaten Kendal yang diselenggarakan pada 5 Mei 2008 lalu, Badan
Keswadayaan Masyarakat (BKM) Desa Sumur mengangkat “ulat sutera”
sebagai salah satu program yang ditawarkan untuk dapat dimitrakan dengan
berbagai pihak, baik pemerintah daerah (dinas-dinas) maupun swasta.
Usaha ini mendapat tanggapan yang baik dari Pemerintah Kabupaten Kendal,
dengan mendukung semua upaya untuk dapat mengembangkan budidaya ulat
sutera.
Kini, ada 31 warga Desa Sumur yang mengikuti jejak Ngadri dalam
menggeluti budidaya ulat sutera. Hal ini menjadi embrio yang baik bagi
terbentuknya Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) untuk dapat mengembangkan
ulat sutera, yang tidak hanya sebatas membudidayakan, melainkan juga
mengolahnya menjadi benang.
“Harapan saya lebih lanjut adalah (Desa) Sumur dapat menjadi sentra
budidaya ulat sutera yang dapat dikenal masyarakat luas,” tegas Ngadri.
(Sumber: Media Swara Mandiri, Kendal/Hadi Purwanto, PNPM Mandiri
Perkotaan; Firstavina)
Sumber:
http://www.p2kp.org
0 komentar:
Posting Komentar